Selasa, 18 Desember 2012

makalh kesenian kediri


BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Ragam kesenian di daerah  kabupaten Kediri tentunya tidak lepas dari sejarah kerajaan Kediri. Kesenian yang ada misalnya seni jaranan dan kethek ogleng. Kesenian jaranan menyuguhkan berbagai atraksi menarik yang mampu membangkitkan rasa takjub masyarakat yang menonton. Atraksi gerak pemain juga diiringi dengan gamelan dan diselingi dengan unsur magis yang membuat ksenian ini layak untuk ditonton. Di Kabupaten Kediri terdapat beberapa jenis kesenian jaranan yaitu seperti Jaranan Sentewere, Jaranan Pegon, Jaranan Dor dan Jaranan Jowo.
Jaranan jowo merupakan salah satu kesenian jaranan yang mengandung unsur magisdalam tariannya.Dimana pada puncaknya penari atau pemain akan mengalami trance (kesurupan) dan melakukan aksi berbahaya di luar akal manusia. Sedangkan jaranan dor, jaranan sentewere dan jaranan pegon mengedepankan kreatifitas gerak dengan iringan gamelan yang dinamis. Jaranan sentewere merupakan jaranan yang digemari oleh masyarakat karena dalam penampilannya diiringi hiburan lagu-lagu yang bernada diatonis. Seluruh kesenian di kabupaten Kediri berada dibawah naungan Paguyupan Seni Jaranan  (PASJAR) Kabupaten Kediri. Akan tetapi, pakem jaranan ini mengalami kendala, karena hampir di setiap daerah di Kediri terdapat kesenian ini, terutama daerah disekitar kediri tetapi berbeda gerakannya.
 Selain itu, kesenian kethek ogleng tidak kalah menariknya. Kesenian ini di ambil dari kisah asmara Panji Asmarabangun dan Dewi Kilisuci. Akan tetapi kesenian kethek ogleng ini hampir punah. Bagi komunitas Kediri nama Guntur sudah tidak asing lagi. Menurut Guntur, tari Kethek Ogleng sudah ada sejak puluhan tahun yang lalu. Tari ini mengalami masa puncak pada era 70-an. Seiring berjalannya waktu, tari Kethek Ogleng perlahan-lahan mulai jarang ditampilkan. Pada era 90-an kegemaran masyarakat dan seniman mulai bergeser. Mereka lebih suka memainkan jaranan dengan alasan karena gerakan dan musiknya lebih sederhana. Tidak heran bila saat ini warga Kediri lebih mengenal jaranan sebagai seni khas Kediri dibandingkan Kethek Ogleng.
B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana sejarah kesenian jaranan di Kabupaten Kediri ?
2.      Apa saja pakem yang ada di jaranan ?
3.      Mengapa dalam jaranan terjadi perebutan pengaruh ?
4.      Bagaimana sejarah kesenian kethek ogleng di Kabupaten Kediri ?

C.     TUJUAN
1.       Mengetahui sejarah kesenian jaranan di Kabupaten Kediri.
2.      Mengetahui pakem-pakem yang ada di jaranan.
3.      Mengetahui alasan terjadi perebutan pengaruh dalam jaranan.
4.      Mengetahui sejarah kesenian kethek ogleng di Kabupaten Kediri.




















BAB II
PEMBAHASAN

A.    KESENIAN JARANAN
I.            SEJARAH
Seni Jaranan itu mulai muncul sejak abad ke 10 Hijriah. Tepatnya pada tahun 1041 atau bersamaan dengan kerajaan Kahuripan dibagi menjadi 2 yaitu yaitu bagian timur Kerajaan Jenggala dengan ibukota Kahuripan dan sebelah Barat Kerajaan Panjalu atau Kediri dengan Ibukota Dhahapura.
Raja Airlangga memiliki seorang putri yang bernama Dewi Sangga Langit. Dia adalah orang kediri yang sangat cantik. Pada waktu banyak sekali yang melamar, maka dia mengadakan sayembara. Pelamar-pelamar Dewi Songgo Langit semuanya sakti. Mereka sama-sama memiliki kekuatan yang tinggi. Dewi Songgo Langit sebenarnya tidak mau menikah dan dia Ingin menjadi petapa saja. Prabu Airlangga memaksa Dewi Songgo Langit Untuk menikah. Akhirnya dia mau menikah dengan satu permintaan. Barang siapa yang bisa membuat kesenian yang belum ada di Pulau Jawa dia mau menjadi suaminya.
Ada beberapa orang yang ingin melamar Dewi Songgo Langit. Diantaranya adalah Klono Sewandono dari Wengker, Toh Bagus Utusan Singo Barong Dari Blitar, kalawraha seorang adipati dari pesisir kidul, dan 4 prajurit yang berasal dari Blitar. Para pelamar bersama-sama mengikuti sayembara yang diadakan oleh Dewi Songgo Langit. Mereka berangkat dari tempatnya masing-masing ke Kediri untuk melamar Dewi Songgo Langit.
Dari beberapa pelamar itu mereka bertemu dijalan dan bertengkar dahulu sebelum mengikuti sayembara di kediri. Dalam peperangan itu dimenangkan oleh Klana Sewandono atau Pujangganom. Dalam peperangan itu Pujangganom menang dan Singo Ludoyo kalah. Pada saat kekalahan Singo Ludoyo itu rupanya singo Ludoyo memiliki janji dengan Pujangganom. Singa Ludoyo meminta jangan dibunuh. Pujangganom rupanya menyepakati kesepakatan itu. Akan tetapi Pujangganom memiliki syarat yaitu Singo Barong harus mengiring temantenya dengan Dewi Sangga Langit ke Wengker.
Iring-iringan temanten itu harus diiringi oleh jaran-jaran dengan melewati bawah tanah dengan diiringi oleh alat musik yang berasal dari bambu dan besi. Pada jaman sekarang besi ini menjadi kenong. Dan bambu itu menjadi terompet dan jaranan.
Dalam perjalanan mengiringi temantenya Dewi Songgo Langit dengan Pujangganom itu, Singo Ludoyo beranggapan bahwa dirinya sudah sampai ke Wengker, tetapi ternyata dia masih sampai di Gunung Liman. Dia marah-marah pada waktu itu sehingga dia mengobrak-abrik Gunung Liman itu dan sekarang tempat itu menjadi Simoroto. Akhirnya sebelum dia sampai ke tanah Wengker dia kembali lagi ke Kediri. Dia keluar digua Selomangklung. Sekarang nama tempat itu adalah selomangkleng.
Karena Dewi Sonmggo Langit sudah diboyong ke Wengker oleh Puijangganom dan tidak mau menjadi raja di Kediri, maka kekuasaan Kahuripan diberikan kepada kedua adiknya yang bernama Lembu Amiluhut dan Lembu Amijaya. Setelah Sangga Langit diboyong oleh Pujangganom ke daerah Wengker Bantar Angin, Dewi Sangga Langit merubah nama tempat itu menjadi Ponorogo Jaranan muncul di kediri itu hanya untuk menggambarkan boyongnya dewi Songgo langit dari kediri menuju Wengker Bantar Angin. Pada saat boyongan ke Wengker, Dewi Sangga Langit dan Klana Sewandana dikarak oleh Singo Barong. Pengarakan itu dilakukan dengan menerobos dari dalam tanah sambil berjoget. Alat musik yang dimainkan adalah berasal dari bambu dan besi. Pada jaman sekarang besi ini menjadi kenong.
Untuk mengenang sayembara yang diadakan oleh Dewi Songgo Langit dan Pernikahanya dengan Klana Sewandono atau Pujangga Anom inilah masyarakat kediri membuat kesenian jaranan. Sedangkan di Ponorogo Muncul Reog. Dua kesenian ini sebenarnya memiliki akar historis yang hampir sama. Seni jaranan ini diturunkan secara turun temurun hingga sekarang ini.
II.            PAKEM PADA JARANAN
Dalam pengamatan Desa baru-baru ini, Pemda Kota Kediri tengah berusaha membuat pakem resmi jaranan khas Kota Kediri, yang nanti akan dijadikan simbol identitas. Menurut keterangan beberapa pejabat setempat, proyek ini memang diusung Dinas Pariwisata, Dewan Kesenian Kota Kediri (DK3), dan rencananya melibatkan para sejarawan Kediri.
“Program Dinas Pariwisata untuk tahun ini dan satu tahun mendatang adalah mencari pakem jaranan terlebih dahulu. Karena itu kita sedang melakukan pengembangan dan pembimbingan pada jaranan-jaranan yang ada di Kediri,” ujar Guntur, salah satu pejabat Dinas Pariwisata di Kediri yang terlibat dalam proyek ini. Adapun pembimbingan yang dimaksud Guntur tak lain adalah tampilnya seniman-seniman jaranan di Taman Wisata Selomankleng yang secara rutin diagendakan setiap Minggu.
Pakemisasi saat ini, memang jadi agenda penting pemda Kota Kediri, entah atas nama pelestarian atau pembentukan identitas kota. Sejarahwan, seniman dan para sesepuh Kota Tahu itu rencananya akan dikerahkan untuk mendukung program itu menyusul disepakatinya jaranan sebagai simbol identitas. Mereka mulai menggali data-data kesenian jaranan, sejarah jaranan di sungai Brantas, asal-usulnya zaman pra Islam, sampai mencari akar sejarah kota Kediri yang katanya masih dalam perdebatan.
Tapi susahnya, jaranan di Kediri tidak hanya berbilang, tapi bermacam-macam pula. Bukan hanya tak mudah bahkan hampir mustahil mencari akar yang asli dan tunggal di tengah macam-macam jaranan itu. Belum lagi kesenian jaranan, yang seiring dengan perubahan zaman, juga terus berusaha memperbarui diri, menyesuaikan dengan kebutuhan komunitasnya.      
Penuturan Mbah Ketang ini mungkin baik untuk kita simak.
 Seniman Jaran Kepang di tiga zaman ini berkat bahwa gerakan joget pada jaranan punya banyak pakem. “Kalau jaranan Wijaya Putra itu punya 24 macam, Sanjoyo Putro 24 gerakan, Joyoboyo 14 gerakan, dan Ronggolawe hanya 5 hingga 6 gerakan,” ujarnya. Nah, bila demikian alangkah sulitnya mencari pakem tunggal dalam jaranan.
Belum lagi bila masing-masing kelompok jaranan punya pakem yang menjadi bagian dari ritual dan warisan leluhur yang tidak bisa dirubah atau dikombinasikan dengan yang baru. Dua komunitas jaranan, Wijaya Putra dan Sanjaya Putra, bisa menjadi contoh. Mbah Ketang bercerita, Pakem bagi dua komunitas ini harus selalu digunakan pada saat-saat pertunjukan. Baru setelah pakem itu usai tampil, jaranan baru atau hasil kombinasi bisa dipertunjukkan. Bagi Sanjaya dan Wijaya meninggalkan pakem berarti menghilangkan naluri jaranan dan menghina tinggalan leluhur. Dalam pandangan mereka, yang bisa berubah hanya peralatannya, bukan pakemnya.
Lain Wijaya Putra, lain pula Jayabaya Putra. Komunitas terakhir ini selalu mengkreasi jaranan yang hendak tampil dengan yang baru, atau paling tidak menggabungkan antara yang tradisional dengan yang modern. Alasan mereka karena masyarakat menginginkannya. Misalnya lagu-lagunya dicampur dengan iringan musik samroh ataupun dangdut, yang biasanya lalu ditambah unsur sinden, alat musik drum dan keyboard. Jadi selera pasarlah yang menjadi acuan di sini. Hal yang sama juga dilakukan Jaranan Ranggalawe, yang mengedepankan keindahan tarian jaranan.

III.            BEREBUT PENGARUH
Di samping pakemisasi yang menyisakan sejumlah problem seperti standar apa yang dipakai, oleh siapa, pakem mana yang layak dan mana yang harus disingkirkan serta berbagai seleksi yang melibatkan banyak kepentingan, beberapa komunitas jaranan di Kediri kini mulai berupaya saling berebut pengaruh. Kalau para seniman selama ini hanya bersaing memperebutkan penonton, di antaranya melalui perang tarif, dan melibatkan persaingan antara jaranan yang dikelola para “bos” dan jaranan paguyuban, tampaknya para seniman jaranan kini sedang berebut sesuatu yang lain. Mereka beramai-ramai mencari peluang agar jaranan miliknya yang diakui. Jaranan model pegon, senterewe, maupun dor saling berkompetisi, mendeklarasikan miliknya sebagai yang paling patut dijadikan pakem.
Beberapa seniman yang tergabung dalam paguyuban-paguyuban setidaknya mengaku resah. Selain harus bersaing dengan para bos pemilik jaranan, mereka juga harus melayani perang klaim, dan pada akhirnya bersaing berebut akses ke kekuasaan. “Saya merasa kasihan. Sebab saya kira jaranan yang kecil itu nanti tidak akan bisa hidup.” Begitu kata Pak Gendut yang juga anggota jaranan Wijaya Putra Kota Kediri. Nasib para seniman ini tentu akan lebih tragis, bila jaranan nantinya hendak dipakemkan dan diseragamkan.
Selain Pak Gendut, Mbah Ketang pun kini mulai risau, mengingat konsep pakemisasi pemerintah ini cenderung berbeda dengan pemilik jaranan. Pakem bentukan Dinas Pariwisata, kata Mbah Ketang, tidak berakar pada ruang batin komunitas jaranan, tetapi sekadar untuk kepentingan industri pariwisata, yang keuntungannya pun belum tentu benar akan dinikmati komunitas seniman.
 Dinas Pariwisata dan DK3 terus berusaha mendekati para seniman agar proyek pembentukan identitas Kota Kediri usai tahun 2008. Mereka tampaknya tak sadar, kalau apa yang disebut “identitas asli” itu ternyata dengan susah payah “dicari” dan “dibuat”. Begitu juga “keaslian” itu sendiri yang hanya mungkin bisa ditemukan bila realitas yang beragam itu diseragamkan dalam wujud yang tunggal.

IV.            JARANAN DAN REPRESENTASI ABANGAN
Jaranan pada jaman dahulu adalah selalu bersifat sakral. Maksudnya selalu berhubungan dengan hal-hal yang sifatnya gaib. Selain untuk tontonan dahulu jaranan juga digunakan untuk upacara-upacara resmi yang berhubungan dengan roh-roh leluhur keraton. Pada jaman kerajaan dahulu jaranan seringkali ditampilkan di keraton.
Dalam praktek sehari-harinya para seniman jaranan adalah orang-orang abangan yang masih taat kepada leluhur. Mereka masih menggunakan danyangan atau punden sebagai tenpat yang dikeramatkan. Mereka masih memiliki kepercayaan yang tinggi terhadap roh-roh nenek moyangnya. Mereka juga masih melaksanakan praktik-praktik slametan seperti halnya dilakukan oleh orang-orang dahulu.
Pada kenyataanaya seniman jaranan yang ada di kediri adalah para pekerja kasar semua. Mereka sebagian besar adalah tukang becak dan tukang kayu. Ada sebagian dari mereka yang bekerja sebagai sebagai penjual makanan ringan disepanjang jalan Bandar yang membujur dari utara ke selatan.
Cliford Geertz mengidentifikasi mereka dengan sebutan abangan. Geertz memberikan penjelasan tentang praktik abangan. Masayarakat abangan adalah suatu sekte politio-religius dimana kepoercayaan jawa asli melebur dengan Marxisme yang Nasionalistis yang memungkinkan pemeluknya sekaligus mendukung kebijakan komunisdi Indonesia. Sambil memurnikan upacara-upacara abangan dari sisa-sisa Islam (Geertz 1983).
Dalam perkembanganya kesenian jaranan mengalami pasang surut. Hal ini disebabkan kondisi social masyarakat yang sudah berubah dalam memaknai dan mengambangkan jaranan. dari tahun-ke tahun jaranan mulai berubah dari yang sifatnya tuntunan menjadi tontonan dan yang paling menarik adalah jaranan sebagai alat untuk menarik simpatisan dan untuk pengembangan pariwisata.
Jaranan pada tahun 1960-an menjadi alat politik PKI untuk menopang kekuasaanya dan menarik masa. Pada tahun-tahun itu kebijakan Sukarno tentang Nasakom sangat mempengaruhi keberadaan lembaga-lembaga yang ada di bawah. Dari nasionalisme, Agama dan komunis ini, memiliki lembaga-lembaga sendiri. Kelompok itu memiliki basis kesenian sendiri-sendiri. Lekra, lesbumi dan LKN adalah lembaga kesenian yang ada di tingkat bawah.
Pada tahun itu jaranan sudah ada dan kebetulan bernaung dibawah pengawasan Lekra. Jaranan pada saat itu sudah sangat digemari masyarakat. Bahkan dikediri pada saat itu sudah berdiri beberapa kelompok jaranan. kelompok jaranan ini banyak digawangi oleh orang-orang yang berada di lembaga kesenian. Dari ketiga lembaga kesenian yang ada, semuanya memiliki kesenian sendiri-sendiri yang sesuai dengan misinya masing-masing.
Pada tahun 60 an itu masing-masing kelompok jaranan berkontestasi dengan sehat. Walaupun mereka berasal dari lembaga kesenian yang berbeda, tapi pada saat itu mereka masih bisa berbagi ruang dan berkontestasi. Mereka saling mendukung dan mengembangkan kreatifitasnya dalam berkesenian. Jaranan pada saat itu masih tampil dengan polos sekali. Pemainya hanya mengenakan celana kombor dan tanpa make up. Tidak ada batas antara pemain, penabuh dan penonton. Mereka sama-sama berada di tanah. Mereka bisa saling tukar main antara satu dengan lainya. Berbeda dengan jaman jepang pada yang masih menggunakan goni sebagai pakaiannya. Pada tahun-tahun 60an jaranan bisa tampil vulgar di manapun dia berada.
Pada tahun 1965 terjadi peristiwa pembersihan dari kalangan agamawan kepada kelompok-kelompok abangan. Pembersihan ini dilakukan tas kerjasamama Negara dengan kaum agamawan. Akibat dari pembersihan itu masyarakat abangan yang ada di Kediri pada saat itu sempat kocar-kacir. Terlebih pada orang-orang yang memang bergelut di lembaga PKI ataupun pernah terlibat.
Orang-orang yang terlibat sebagai anggota partai komunis dibunuh. Para seniman-seniman yang berada dibawah PKI yaitu Lekra dihabisi semua. Danyangan dan beberapa punden banyak yang dirusak. Bahkan patung-patung dan arca yang sekarang berada di museum Airlangga terlihat banyak yang hancur. Ini adalah akibat pertikaian politik 1965. segala property yang berhubungan dengan tradisi orang abangan dimusnahkan. Termasuk didalamnya adalah jaranan.
Setelah kejadian berdarah tahun 1965 itu jaranan yang dahulu adalah kesenian yang sangat dibangggakan masyarakat hilang seketika. Jaranan adalah representasi dari kaum abangan yang mencoba untuk memberikan eksistensi dirinya pada kesenian. Mereka benar-benar mengalami trauma yang berkepanjangan. Sehingga kesenian jaranan pada paska 65 mundur. Kondisi politik 65 ini telah membawa jaranan pada titik kemandekanya. Kecuali jaranan yang bernaung di bawah komunis aman dari pembersihan ini. Keberadaan jaranan pada saat itu juga masih relative sedikit. Trauma itu ternyata tidak dirasakan oleh orang-orang yang berasal dar lekra saja. Seniman dari lesbumi dan LKN waktu itu juga agak ketakutan untuk tampil di public. Kebanyakan dari seniman yang ada dikediri pada waktu itu juga berhenti dari kesenian untuk semantara waktu.
Pasca peristiwa berdarah itu seluruh elemen masyarakat memberikan identifikasi yang negatif terhadap kesenian jaranan. dari kalangan agamawan. Para agamawan beranggapan bahwa jaranan itu mengundang setan. Sehingga wajar jika pada saat itu para agamawan terlebih ansor menghabisi seniman-seniman yang berbau komunis di kediri.
Masyarakat tidak mau dicap merah oleh pemerintah dan kaum agamawan sebagai pengikut PKI. Akhirnya kesenian jaranan dijauhi oleh masyarakat. Pasca terjadi peristiwa berdarah tahun 1965 itu, kesenian jaranan mulai lumpuh total. Baru pada tahun 1977 jaranan mulai menggeliat lagi. Jaranan menjadi sebuah idiom baru yang tampil berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Jaranan pada tahun sebelumnya banyak berafiliasi dengan komunis akan tetapi pada tahun itu jaranan mulai menggandeng militer untuk dijadikan alat untuk melindungi dirinya.

V.            PROSES YANG TERJADI DI JARANAN
Dalam jaranan tidak heran jika ada pemain yang kesurupan atau tubuhnya dimasuki oleh makhluk halus yang biasanya sampai mengamuk. Sementara itu, terkait dengan munculnya makhluk halus yang konon selalu merasuki tubuh penari, dalam pertunjukan jaranan, menurut Hariadi pawang seni tradisional Jaranan Kelurahan Kampung Dalem, itu hanya ada di Kediri. Biasanya, kalau sudah menyatu dengan jaranan, pemain yang kerasukan mahkluk halus, agak sulit disadarkan.
Mereka, akan meminta berbagai macam makanan, seperti kemenyan, madu, dan candu. Tak jarang, ada juga yang meminta ubi, jagung, ayam, hingga kambing yang masih terdapat darahnya. Konon, ketika tubuh pemain sedang dimasuki makhluk halus, kemudian ada penonton yang mengeluarkan bunyi peluit, maka pemain tersebut akan marah dan mencari orang yang mengeluarkan suara.
Dalam aksinya, jaranan selalu membawa sebuah kesan magis. Terlihat dari make up dari penari yang tegas memberikan kesan garang dan magis. Beberapa aksesoris yang saya lihat begitu khas adalah “udeng-udeng” yang dipakai di kepala dan “krincing” yang dipakai di kaki.
B.     KESENIAN KETHEK OGLENG
I.                   SEJARAH
Apa yang membuat Kethek Ogleng menjadi kesenian khas Kediri? Guntur mengatakan sebenarnya tari tersebut berasal dari legenda Kota Kediri. Yaitu kisah percintaan Panji Asmorobangun dengan Dewi Sekartaji dalam Cerita Panji.
Raja Jenggala mempunyai seorang putri bernama Dewi Sekartaji dan Kerajaan Kediri mempunyai seorang putra bernama Raden Panji Asmorobangun. Kedua insan ini saling mencintai dan bercita-cita ingin membangun kehidupan yang harmonis dalam sebuah keluarga. Hal ini membuat keduanya tidak dapat dipisahkan.
Namun, raja Jenggala, ayahanda Dewi Sekartaji, mempunyai keinginan untuk menikahkan Dewi Sekartaji dengan pria pilihannya. Ketika Dewi Sekartaji tahu akan dinikahkan dengan laki-laki pilihan ayahandanya-yang tentunya tidak dia cintai, dia diam-diam meninggalkan Kerajaan Jenggala tanpa sepengetahuan sang ayahanda dan seluruh orang di kerajaan. Malam hari, sang putri berangkat bersama beberapa dayang menuju ke arah barat.
Di Kerajaan Kediri, Panji Asmorobangun yang mendengar berita menghilangnya Dewi Sekartaji memutuskan untuk nekad mencari Dewi Sekartaji, sang kekasih. Di perjalanan, Panji Asmorobangun singgah di rumah seorang pendeta. Di sana Panji diberi wejangan agar pergi ke arah barat dan dia harus menyamar menjadi kera. Sedangkan di lain pihak, Dewi Sekartaji ternyata telah menyamar menjadi Endang Rara Tompe.
Setelah Endang Rara Tompe naik turun gunung, akhirnya rombongan Endang Rara Tompe, yang sebenarnya Dewi Sekartaji, beristirahat di suatu daerah dan memutuskan untuk menetap di sana. Ternyata kethek penjelmaan Panji Amorobangun juga tinggal tidak jauh dari pondok Endang Rara Tompe. Maka, bersahabatlah mereka berdua. Meski tinggal berdekatan dan bersahabat, Endang Rara Tompe belum mengetahui jika kethek yang menjadi sahabatnya adalah Panji Asmorobangun, sang kekasih, begitu juga dengan Panji Asmorobangun, dia tidak mengetahui jika Endang Rara Tompe adalah Dewi Sekartaji yang selama ini dia cari.
Setelah persahabatan antara Endang Rara Tompe dan kethek terjalin begitu kuatnya, mereka berdua membuka rahasia masing-masing. Endang Rara Tompe merubah bentuknya menjadi Dewi Sekartaji, begitu juga dengan kethek sahabat Endang Rara Tompe. Kethek tersebut merubah dirinya menjadi Raden Panji Asmorobangun. Perjumpaan antara Dewi Sekartaji dan Raden Panji Asmorobangun diliputi perasaan haru sekaligus bahagia. Akhirnya, Dewi Sekartaji dan Raden Panji Asmorobangun sepakat kembali ke kerajaan Jenggala untuk melangsungkan pernikahan.
II.                PENGERTIAN
Kethek (kera) adalah binatang yang hidup di hutan bersama binatang-binatang hutan yang lain. Kethek Ogleng adalah sebuah tari yang gerakannya menirukan tingkah laku kethek (kera). Biasanya tarian ini dipentaskan pada waktu hajatan masyarakat setempat.
Tari Kethek Ogleng ini dalam mengekspresikannya menggambarkan gerak-gerik sekelompok kera putih. Dalam tarian ini terlintas ungkapan kelincahan,kebersamaan,semangat,kelucuan dan atraktif. Iringannya menggunakan instrumen gamelan jawa,alat perkusi tradisional dan penggaran olah vokal yang tetap menghadirkan rasa dan nuansa kerakyatan.







BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Jaranan merupakan kesenian khas Kediri. Jaranan itu yang penting adalah dimunculkan saja supaya keberadaanya tetap bisa lestari. Pada saat ini pemerintah kota kediri sedang mempelajari dan menggali kesenian jaranan yang khas Kediri. Baik itu dari segi pakaianya, jogednya maupun alat musik yang dimainkan. Tetapi susahnya, jaranan di Kediri tidak hanya berbilang, tapi bermacam-macam pula. Bukan hanya tak mudah bahkan hampir mustahil mencari akar yang asli dan tunggal di tengah macam-macam jaranan itu. Belum lagi kesenian jaranan, yang seiring dengan perubahan zaman, juga terus berusaha memperbarui diri, menyesuaikan dengan kebutuhan komunitasnya.      
Kesenian lebih disukai oleh masyarakat daripada kesenian kethek ogleng oleh sebab itu kesenian kethek ogleng di daerah Kediri hampir punah. Hal ini dikarenakan musik dan gerakannya sedehana.
  1. SARAN
Pemerintah daerah itu haruslah pandai-pandai memasarkan kesenian daerah. Jadi tidak hanya kesenian yang sudah tenar saja yang kita suruh main. Kita harus melestarikan budaya kita agar tidak punah dan tidak menyalahgunakannya.











DAFTAR PUSTAKA

PT. RADIO SWARA ANDIKA JAYA









1 komentar: