BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Ragam kesenian di daerah kabupaten Kediri tentunya tidak lepas dari
sejarah kerajaan Kediri. Kesenian yang ada misalnya seni jaranan dan kethek
ogleng. Kesenian jaranan menyuguhkan berbagai atraksi menarik yang mampu membangkitkan
rasa takjub masyarakat yang menonton. Atraksi gerak pemain juga diiringi dengan
gamelan dan diselingi dengan unsur magis yang membuat ksenian ini layak untuk
ditonton. Di Kabupaten Kediri terdapat beberapa jenis kesenian jaranan yaitu
seperti Jaranan Sentewere, Jaranan Pegon, Jaranan Dor dan Jaranan Jowo.
Jaranan jowo merupakan salah satu
kesenian jaranan yang mengandung unsur magisdalam tariannya.Dimana pada
puncaknya penari atau pemain akan mengalami trance (kesurupan) dan melakukan
aksi berbahaya di luar akal manusia. Sedangkan jaranan dor, jaranan sentewere
dan jaranan pegon mengedepankan kreatifitas gerak dengan iringan gamelan yang
dinamis. Jaranan sentewere merupakan jaranan yang digemari oleh masyarakat
karena dalam penampilannya diiringi hiburan lagu-lagu yang bernada diatonis.
Seluruh kesenian di kabupaten Kediri berada dibawah naungan Paguyupan Seni
Jaranan (PASJAR) Kabupaten Kediri. Akan
tetapi, pakem jaranan ini mengalami kendala, karena hampir di setiap daerah di
Kediri terdapat kesenian ini, terutama daerah disekitar kediri tetapi berbeda
gerakannya.
Selain itu, kesenian kethek ogleng tidak kalah
menariknya. Kesenian ini di ambil dari kisah asmara Panji Asmarabangun dan Dewi
Kilisuci. Akan tetapi kesenian kethek ogleng ini hampir punah. Bagi komunitas
Kediri nama Guntur sudah tidak asing lagi. Menurut Guntur, tari Kethek Ogleng
sudah ada sejak puluhan tahun yang lalu. Tari ini mengalami masa puncak pada
era 70-an. Seiring berjalannya waktu, tari Kethek Ogleng perlahan-lahan mulai
jarang ditampilkan. Pada era 90-an kegemaran masyarakat dan seniman mulai
bergeser. Mereka lebih suka memainkan jaranan dengan alasan karena gerakan dan
musiknya lebih sederhana. Tidak heran bila saat ini warga Kediri lebih mengenal
jaranan sebagai seni khas Kediri dibandingkan Kethek Ogleng.
B. RUMUSAN
MASALAH
1. Bagaimana
sejarah kesenian jaranan di Kabupaten Kediri ?
2. Apa
saja pakem yang ada di jaranan ?
3. Mengapa
dalam jaranan terjadi perebutan pengaruh ?
4. Bagaimana
sejarah kesenian kethek ogleng di Kabupaten Kediri ?
C. TUJUAN
1. Mengetahui sejarah kesenian jaranan di
Kabupaten Kediri.
2. Mengetahui
pakem-pakem yang ada di jaranan.
3. Mengetahui
alasan terjadi perebutan pengaruh dalam jaranan.
4. Mengetahui
sejarah kesenian kethek ogleng di Kabupaten Kediri.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
KESENIAN
JARANAN
I.
SEJARAH
Seni Jaranan itu mulai
muncul sejak abad ke 10 Hijriah. Tepatnya pada tahun 1041 atau bersamaan dengan
kerajaan Kahuripan dibagi menjadi 2 yaitu yaitu bagian timur Kerajaan Jenggala
dengan ibukota Kahuripan dan sebelah Barat Kerajaan Panjalu atau Kediri dengan
Ibukota Dhahapura.
Raja Airlangga memiliki
seorang putri yang bernama Dewi Sangga Langit. Dia adalah orang kediri yang
sangat cantik. Pada waktu banyak sekali yang melamar, maka dia mengadakan
sayembara. Pelamar-pelamar Dewi Songgo Langit semuanya sakti. Mereka sama-sama
memiliki kekuatan yang tinggi. Dewi Songgo Langit sebenarnya tidak mau menikah
dan dia Ingin menjadi petapa saja. Prabu Airlangga memaksa Dewi Songgo Langit
Untuk menikah. Akhirnya dia mau menikah dengan satu permintaan. Barang siapa
yang bisa membuat kesenian yang belum ada di Pulau Jawa dia mau menjadi
suaminya.
Ada beberapa orang yang
ingin melamar Dewi Songgo Langit. Diantaranya adalah Klono Sewandono dari
Wengker, Toh Bagus Utusan Singo Barong Dari Blitar, kalawraha seorang adipati
dari pesisir kidul, dan 4 prajurit yang berasal dari Blitar. Para pelamar
bersama-sama mengikuti sayembara yang diadakan oleh Dewi Songgo Langit. Mereka
berangkat dari tempatnya masing-masing ke Kediri untuk melamar Dewi Songgo
Langit.
Dari beberapa pelamar
itu mereka bertemu dijalan dan bertengkar dahulu sebelum mengikuti sayembara di
kediri. Dalam peperangan itu dimenangkan oleh Klana Sewandono atau Pujangganom.
Dalam peperangan itu Pujangganom menang dan Singo Ludoyo kalah. Pada saat
kekalahan Singo Ludoyo itu rupanya singo Ludoyo memiliki janji dengan
Pujangganom. Singa Ludoyo meminta jangan dibunuh. Pujangganom rupanya
menyepakati kesepakatan itu. Akan tetapi Pujangganom memiliki syarat yaitu
Singo Barong harus mengiring temantenya dengan Dewi Sangga Langit ke Wengker.
Iring-iringan temanten
itu harus diiringi oleh jaran-jaran dengan melewati bawah tanah dengan diiringi
oleh alat musik yang berasal dari bambu dan besi. Pada jaman sekarang besi ini
menjadi kenong. Dan bambu itu menjadi terompet dan jaranan.
Dalam perjalanan
mengiringi temantenya Dewi Songgo Langit dengan Pujangganom itu, Singo Ludoyo
beranggapan bahwa dirinya sudah sampai ke Wengker, tetapi ternyata dia masih
sampai di Gunung Liman. Dia marah-marah pada waktu itu sehingga dia
mengobrak-abrik Gunung Liman itu dan sekarang tempat itu menjadi Simoroto.
Akhirnya sebelum dia sampai ke tanah Wengker dia kembali lagi ke Kediri. Dia
keluar digua Selomangklung. Sekarang nama tempat itu adalah selomangkleng.
Karena Dewi Sonmggo
Langit sudah diboyong ke Wengker oleh Puijangganom dan tidak mau menjadi raja
di Kediri, maka kekuasaan Kahuripan diberikan kepada kedua adiknya yang bernama
Lembu Amiluhut dan Lembu Amijaya. Setelah Sangga Langit diboyong oleh Pujangganom
ke daerah Wengker Bantar Angin, Dewi Sangga Langit merubah nama tempat itu
menjadi Ponorogo Jaranan muncul di kediri itu hanya untuk menggambarkan
boyongnya dewi Songgo langit dari kediri menuju Wengker Bantar Angin. Pada saat
boyongan ke Wengker, Dewi Sangga Langit dan Klana Sewandana dikarak oleh Singo
Barong. Pengarakan itu dilakukan dengan menerobos dari dalam tanah sambil
berjoget. Alat musik yang dimainkan adalah berasal dari bambu dan besi. Pada
jaman sekarang besi ini menjadi kenong.
Untuk mengenang
sayembara yang diadakan oleh Dewi Songgo Langit dan Pernikahanya dengan Klana
Sewandono atau Pujangga Anom inilah masyarakat kediri membuat kesenian jaranan.
Sedangkan di Ponorogo Muncul Reog. Dua kesenian ini sebenarnya memiliki akar
historis yang hampir sama. Seni jaranan ini diturunkan secara turun temurun
hingga sekarang ini.
II.
PAKEM PADA JARANAN
Dalam pengamatan Desa
baru-baru ini, Pemda Kota Kediri tengah berusaha membuat pakem resmi jaranan
khas Kota Kediri, yang nanti akan dijadikan simbol identitas. Menurut
keterangan beberapa pejabat setempat, proyek ini memang diusung Dinas
Pariwisata, Dewan Kesenian Kota Kediri (DK3), dan rencananya melibatkan para
sejarawan Kediri.
“Program Dinas
Pariwisata untuk tahun ini dan satu tahun mendatang adalah mencari pakem
jaranan terlebih dahulu. Karena itu kita sedang melakukan pengembangan dan
pembimbingan pada jaranan-jaranan yang ada di Kediri,” ujar Guntur, salah satu
pejabat Dinas Pariwisata di Kediri yang terlibat dalam proyek ini. Adapun
pembimbingan yang dimaksud Guntur tak lain adalah tampilnya seniman-seniman
jaranan di Taman Wisata Selomankleng yang secara rutin diagendakan setiap
Minggu.
Pakemisasi saat ini,
memang jadi agenda penting pemda Kota Kediri, entah atas nama pelestarian atau
pembentukan identitas kota. Sejarahwan, seniman dan para sesepuh Kota Tahu itu
rencananya akan dikerahkan untuk mendukung program itu menyusul disepakatinya
jaranan sebagai simbol identitas. Mereka mulai menggali data-data kesenian
jaranan, sejarah jaranan di sungai Brantas, asal-usulnya zaman pra Islam,
sampai mencari akar sejarah kota Kediri yang katanya masih dalam perdebatan.
Tapi susahnya, jaranan
di Kediri tidak hanya berbilang, tapi bermacam-macam pula. Bukan hanya tak
mudah bahkan hampir mustahil mencari akar yang asli dan tunggal di tengah
macam-macam jaranan itu. Belum lagi kesenian jaranan, yang seiring dengan
perubahan zaman, juga terus berusaha memperbarui diri, menyesuaikan dengan
kebutuhan komunitasnya.
Penuturan Mbah Ketang
ini mungkin baik untuk kita simak.
Seniman Jaran Kepang di tiga zaman ini berkat
bahwa gerakan joget pada jaranan punya banyak pakem. “Kalau jaranan Wijaya
Putra itu punya 24 macam, Sanjoyo Putro 24 gerakan, Joyoboyo 14 gerakan, dan
Ronggolawe hanya 5 hingga 6 gerakan,” ujarnya. Nah, bila demikian alangkah
sulitnya mencari pakem tunggal dalam jaranan.
Belum lagi bila
masing-masing kelompok jaranan punya pakem yang menjadi bagian dari ritual dan
warisan leluhur yang tidak bisa dirubah atau dikombinasikan dengan yang baru.
Dua komunitas jaranan, Wijaya Putra dan Sanjaya Putra, bisa menjadi contoh.
Mbah Ketang bercerita, Pakem bagi dua komunitas ini harus selalu digunakan pada
saat-saat pertunjukan. Baru setelah pakem itu usai tampil, jaranan baru atau
hasil kombinasi bisa dipertunjukkan. Bagi Sanjaya dan Wijaya meninggalkan pakem
berarti menghilangkan naluri jaranan dan menghina tinggalan leluhur. Dalam
pandangan mereka, yang bisa berubah hanya peralatannya, bukan pakemnya.
Lain Wijaya Putra, lain
pula Jayabaya Putra. Komunitas terakhir ini selalu mengkreasi jaranan yang
hendak tampil dengan yang baru, atau paling tidak menggabungkan antara yang
tradisional dengan yang modern. Alasan mereka karena masyarakat
menginginkannya. Misalnya lagu-lagunya dicampur dengan iringan musik samroh
ataupun dangdut, yang biasanya lalu ditambah unsur sinden, alat musik drum dan
keyboard. Jadi selera pasarlah yang menjadi acuan di sini. Hal yang sama juga
dilakukan Jaranan Ranggalawe, yang mengedepankan keindahan tarian jaranan.
III.
BEREBUT PENGARUH
Di samping pakemisasi
yang menyisakan sejumlah problem seperti standar apa yang dipakai, oleh siapa,
pakem mana yang layak dan mana yang harus disingkirkan serta berbagai seleksi
yang melibatkan banyak kepentingan, beberapa komunitas jaranan di Kediri kini
mulai berupaya saling berebut pengaruh. Kalau para seniman selama ini hanya
bersaing memperebutkan penonton, di antaranya melalui perang tarif, dan
melibatkan persaingan antara jaranan yang dikelola para “bos” dan jaranan
paguyuban, tampaknya para seniman jaranan kini sedang berebut sesuatu yang
lain. Mereka beramai-ramai mencari peluang agar jaranan miliknya yang diakui.
Jaranan model pegon, senterewe, maupun dor saling berkompetisi, mendeklarasikan
miliknya sebagai yang paling patut dijadikan pakem.
Beberapa seniman yang
tergabung dalam paguyuban-paguyuban setidaknya mengaku resah. Selain harus
bersaing dengan para bos pemilik jaranan, mereka juga harus melayani perang
klaim, dan pada akhirnya bersaing berebut akses ke kekuasaan. “Saya merasa
kasihan. Sebab saya kira jaranan yang kecil itu nanti tidak akan bisa hidup.”
Begitu kata Pak Gendut yang juga anggota jaranan Wijaya Putra Kota Kediri.
Nasib para seniman ini tentu akan lebih tragis, bila jaranan nantinya hendak
dipakemkan dan diseragamkan.
Selain Pak Gendut, Mbah
Ketang pun kini mulai risau, mengingat konsep pakemisasi pemerintah ini
cenderung berbeda dengan pemilik jaranan. Pakem bentukan Dinas Pariwisata, kata
Mbah Ketang, tidak berakar pada ruang batin komunitas jaranan, tetapi sekadar
untuk kepentingan industri pariwisata, yang keuntungannya pun belum tentu benar
akan dinikmati komunitas seniman.
Dinas Pariwisata dan DK3 terus berusaha
mendekati para seniman agar proyek pembentukan identitas Kota Kediri usai tahun
2008. Mereka tampaknya tak sadar, kalau apa yang disebut “identitas asli” itu
ternyata dengan susah payah “dicari” dan “dibuat”. Begitu juga “keaslian” itu
sendiri yang hanya mungkin bisa ditemukan bila realitas yang beragam itu
diseragamkan dalam wujud yang tunggal.
IV.
JARANAN DAN
REPRESENTASI ABANGAN
Jaranan pada jaman
dahulu adalah selalu bersifat sakral. Maksudnya selalu berhubungan dengan
hal-hal yang sifatnya gaib. Selain untuk tontonan dahulu jaranan juga digunakan
untuk upacara-upacara resmi yang berhubungan dengan roh-roh leluhur keraton.
Pada jaman kerajaan dahulu jaranan seringkali ditampilkan di keraton.
Dalam praktek
sehari-harinya para seniman jaranan adalah orang-orang abangan yang masih taat
kepada leluhur. Mereka masih menggunakan danyangan atau punden sebagai tenpat
yang dikeramatkan. Mereka masih memiliki kepercayaan yang tinggi terhadap
roh-roh nenek moyangnya. Mereka juga masih melaksanakan praktik-praktik
slametan seperti halnya dilakukan oleh orang-orang dahulu.
Pada kenyataanaya
seniman jaranan yang ada di kediri adalah para pekerja kasar semua. Mereka
sebagian besar adalah tukang becak dan tukang kayu. Ada sebagian dari mereka
yang bekerja sebagai sebagai penjual makanan ringan disepanjang jalan Bandar
yang membujur dari utara ke selatan.
Cliford Geertz
mengidentifikasi mereka dengan sebutan abangan. Geertz memberikan penjelasan
tentang praktik abangan. Masayarakat abangan adalah suatu sekte
politio-religius dimana kepoercayaan jawa asli melebur dengan Marxisme yang
Nasionalistis yang memungkinkan pemeluknya sekaligus mendukung kebijakan
komunisdi Indonesia. Sambil memurnikan upacara-upacara abangan dari sisa-sisa
Islam (Geertz 1983).
Dalam perkembanganya
kesenian jaranan mengalami pasang surut. Hal ini disebabkan kondisi social
masyarakat yang sudah berubah dalam memaknai dan mengambangkan jaranan. dari
tahun-ke tahun jaranan mulai berubah dari yang sifatnya tuntunan menjadi
tontonan dan yang paling menarik adalah jaranan sebagai alat untuk menarik
simpatisan dan untuk pengembangan pariwisata.
Jaranan pada tahun
1960-an menjadi alat politik PKI untuk menopang kekuasaanya dan menarik masa.
Pada tahun-tahun itu kebijakan Sukarno tentang Nasakom sangat mempengaruhi
keberadaan lembaga-lembaga yang ada di bawah. Dari nasionalisme, Agama dan
komunis ini, memiliki lembaga-lembaga sendiri. Kelompok itu memiliki basis
kesenian sendiri-sendiri. Lekra, lesbumi dan LKN adalah lembaga kesenian yang
ada di tingkat bawah.
Pada tahun itu jaranan
sudah ada dan kebetulan bernaung dibawah pengawasan Lekra. Jaranan pada saat
itu sudah sangat digemari masyarakat. Bahkan dikediri pada saat itu sudah
berdiri beberapa kelompok jaranan. kelompok jaranan ini banyak digawangi oleh
orang-orang yang berada di lembaga kesenian. Dari ketiga lembaga kesenian yang
ada, semuanya memiliki kesenian sendiri-sendiri yang sesuai dengan misinya
masing-masing.
Pada tahun 60 an itu
masing-masing kelompok jaranan berkontestasi dengan sehat. Walaupun mereka
berasal dari lembaga kesenian yang berbeda, tapi pada saat itu mereka masih
bisa berbagi ruang dan berkontestasi. Mereka saling mendukung dan mengembangkan
kreatifitasnya dalam berkesenian. Jaranan pada saat itu masih tampil dengan
polos sekali. Pemainya hanya mengenakan celana kombor dan tanpa make up. Tidak
ada batas antara pemain, penabuh dan penonton. Mereka sama-sama berada di
tanah. Mereka bisa saling tukar main antara satu dengan lainya. Berbeda dengan
jaman jepang pada yang masih menggunakan goni sebagai pakaiannya. Pada
tahun-tahun 60an jaranan bisa tampil vulgar di manapun dia berada.
Pada tahun 1965 terjadi
peristiwa pembersihan dari kalangan agamawan kepada kelompok-kelompok abangan.
Pembersihan ini dilakukan tas kerjasamama Negara dengan kaum agamawan. Akibat
dari pembersihan itu masyarakat abangan yang ada di Kediri pada saat itu sempat
kocar-kacir. Terlebih pada orang-orang yang memang bergelut di lembaga PKI
ataupun pernah terlibat.
Orang-orang yang
terlibat sebagai anggota partai komunis dibunuh. Para seniman-seniman yang
berada dibawah PKI yaitu Lekra dihabisi semua. Danyangan dan beberapa punden
banyak yang dirusak. Bahkan patung-patung dan arca yang sekarang berada di
museum Airlangga terlihat banyak yang hancur. Ini adalah akibat pertikaian
politik 1965. segala property yang berhubungan dengan tradisi orang abangan
dimusnahkan. Termasuk didalamnya adalah jaranan.
Setelah kejadian
berdarah tahun 1965 itu jaranan yang dahulu adalah kesenian yang sangat
dibangggakan masyarakat hilang seketika. Jaranan adalah representasi dari kaum
abangan yang mencoba untuk memberikan eksistensi dirinya pada kesenian. Mereka
benar-benar mengalami trauma yang berkepanjangan. Sehingga kesenian jaranan
pada paska 65 mundur. Kondisi politik 65 ini telah membawa jaranan pada titik
kemandekanya. Kecuali jaranan yang bernaung di bawah komunis aman dari
pembersihan ini. Keberadaan jaranan pada saat itu juga masih relative sedikit.
Trauma itu ternyata tidak dirasakan oleh orang-orang yang berasal dar lekra
saja. Seniman dari lesbumi dan LKN waktu itu juga agak ketakutan untuk tampil
di public. Kebanyakan dari seniman yang ada dikediri pada waktu itu juga
berhenti dari kesenian untuk semantara waktu.
Pasca peristiwa
berdarah itu seluruh elemen masyarakat memberikan identifikasi yang negatif
terhadap kesenian jaranan. dari kalangan agamawan. Para agamawan beranggapan
bahwa jaranan itu mengundang setan. Sehingga wajar jika pada saat itu para
agamawan terlebih ansor menghabisi seniman-seniman yang berbau komunis di
kediri.
Masyarakat tidak mau
dicap merah oleh pemerintah dan kaum agamawan sebagai pengikut PKI. Akhirnya
kesenian jaranan dijauhi oleh masyarakat. Pasca terjadi peristiwa berdarah
tahun 1965 itu, kesenian jaranan mulai lumpuh total. Baru pada tahun 1977
jaranan mulai menggeliat lagi. Jaranan menjadi sebuah idiom baru yang tampil
berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Jaranan pada tahun sebelumnya banyak
berafiliasi dengan komunis akan tetapi pada tahun itu jaranan mulai menggandeng
militer untuk dijadikan alat untuk melindungi dirinya.
V.
PROSES YANG
TERJADI DI JARANAN
Dalam jaranan tidak
heran jika ada pemain yang kesurupan atau tubuhnya dimasuki oleh makhluk halus
yang biasanya sampai mengamuk. Sementara itu, terkait dengan munculnya makhluk
halus yang konon selalu merasuki tubuh penari, dalam pertunjukan jaranan,
menurut Hariadi pawang seni tradisional Jaranan Kelurahan Kampung Dalem, itu hanya
ada di Kediri. Biasanya, kalau sudah menyatu dengan jaranan, pemain yang
kerasukan mahkluk halus, agak sulit disadarkan.
Mereka, akan meminta
berbagai macam makanan, seperti kemenyan, madu, dan candu. Tak jarang, ada juga
yang meminta ubi, jagung, ayam, hingga kambing yang masih terdapat darahnya.
Konon, ketika tubuh pemain sedang dimasuki makhluk halus, kemudian ada penonton
yang mengeluarkan bunyi peluit, maka pemain tersebut akan marah dan mencari
orang yang mengeluarkan suara.
Dalam aksinya, jaranan
selalu membawa sebuah kesan magis. Terlihat dari make up dari penari yang tegas
memberikan kesan garang dan magis. Beberapa aksesoris yang saya lihat begitu
khas adalah “udeng-udeng” yang dipakai di kepala dan “krincing” yang dipakai di
kaki.
B.
KESENIAN KETHEK OGLENG
I.
SEJARAH
Apa yang membuat
Kethek Ogleng menjadi kesenian khas Kediri? Guntur mengatakan sebenarnya tari
tersebut berasal dari legenda Kota Kediri. Yaitu kisah percintaan Panji
Asmorobangun dengan Dewi Sekartaji dalam Cerita Panji.
Raja Jenggala
mempunyai seorang putri bernama Dewi Sekartaji dan Kerajaan Kediri mempunyai
seorang putra bernama Raden Panji Asmorobangun. Kedua insan ini saling
mencintai dan bercita-cita ingin membangun kehidupan yang harmonis dalam sebuah
keluarga. Hal ini membuat keduanya tidak dapat dipisahkan.
Namun, raja
Jenggala, ayahanda Dewi Sekartaji, mempunyai keinginan untuk menikahkan Dewi
Sekartaji dengan pria pilihannya. Ketika Dewi Sekartaji tahu akan dinikahkan
dengan laki-laki pilihan ayahandanya-yang tentunya tidak dia cintai, dia
diam-diam meninggalkan Kerajaan Jenggala tanpa sepengetahuan sang ayahanda dan
seluruh orang di kerajaan. Malam hari, sang putri berangkat bersama
beberapa dayang menuju ke arah barat.
Di Kerajaan
Kediri, Panji Asmorobangun yang mendengar berita menghilangnya Dewi Sekartaji
memutuskan untuk nekad mencari Dewi Sekartaji, sang kekasih. Di perjalanan,
Panji Asmorobangun singgah di rumah seorang pendeta. Di sana Panji diberi
wejangan agar pergi ke arah barat dan dia harus menyamar menjadi kera. Sedangkan
di lain pihak, Dewi Sekartaji ternyata telah menyamar menjadi Endang Rara
Tompe.
Setelah
Endang Rara Tompe naik turun gunung, akhirnya rombongan Endang Rara Tompe, yang
sebenarnya Dewi Sekartaji, beristirahat di suatu daerah dan memutuskan untuk menetap
di sana. Ternyata kethek penjelmaan Panji Amorobangun juga tinggal tidak jauh
dari pondok Endang Rara Tompe. Maka, bersahabatlah mereka berdua. Meski tinggal
berdekatan dan bersahabat, Endang Rara Tompe belum mengetahui jika kethek yang
menjadi sahabatnya adalah Panji Asmorobangun, sang kekasih, begitu juga dengan
Panji Asmorobangun, dia tidak mengetahui jika Endang Rara Tompe adalah Dewi
Sekartaji yang selama ini dia cari.
Setelah
persahabatan antara Endang Rara Tompe dan kethek terjalin begitu kuatnya,
mereka berdua membuka rahasia masing-masing. Endang Rara Tompe merubah
bentuknya menjadi Dewi Sekartaji, begitu juga dengan kethek sahabat Endang
Rara Tompe. Kethek tersebut merubah dirinya menjadi Raden Panji Asmorobangun.
Perjumpaan antara Dewi Sekartaji dan Raden Panji Asmorobangun diliputi perasaan
haru sekaligus bahagia. Akhirnya, Dewi Sekartaji dan Raden Panji Asmorobangun
sepakat kembali ke kerajaan Jenggala untuk melangsungkan pernikahan.
II.
PENGERTIAN
Kethek (kera) adalah binatang yang hidup di hutan
bersama binatang-binatang hutan yang lain. Kethek Ogleng adalah sebuah tari
yang gerakannya menirukan tingkah laku kethek (kera). Biasanya tarian ini
dipentaskan pada waktu hajatan masyarakat setempat.
Tari Kethek
Ogleng ini dalam mengekspresikannya menggambarkan gerak-gerik sekelompok kera
putih. Dalam tarian ini terlintas ungkapan kelincahan,kebersamaan,semangat,kelucuan
dan atraktif. Iringannya menggunakan instrumen gamelan jawa,alat perkusi
tradisional dan penggaran olah vokal yang tetap menghadirkan rasa dan nuansa
kerakyatan.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Jaranan merupakan
kesenian khas Kediri. Jaranan itu yang penting adalah dimunculkan saja supaya
keberadaanya tetap bisa lestari. Pada saat ini pemerintah kota kediri sedang
mempelajari dan menggali kesenian jaranan yang khas Kediri. Baik itu dari segi
pakaianya, jogednya maupun alat musik yang dimainkan. Tetapi susahnya, jaranan
di Kediri tidak hanya berbilang, tapi bermacam-macam pula. Bukan hanya tak
mudah bahkan hampir mustahil mencari akar yang asli dan tunggal di tengah
macam-macam jaranan itu. Belum lagi kesenian jaranan, yang seiring dengan
perubahan zaman, juga terus berusaha memperbarui diri, menyesuaikan dengan
kebutuhan komunitasnya.
Kesenian lebih disukai
oleh masyarakat daripada kesenian kethek ogleng oleh sebab itu kesenian kethek
ogleng di daerah Kediri hampir punah. Hal ini dikarenakan musik dan gerakannya
sedehana.
- SARAN
Pemerintah
daerah itu haruslah pandai-pandai memasarkan kesenian daerah. Jadi tidak hanya
kesenian yang sudah tenar saja yang kita suruh main. Kita harus melestarikan
budaya kita agar tidak punah dan tidak menyalahgunakannya.
DAFTAR
PUSTAKA
PT. RADIO SWARA ANDIKA JAYA